MENIKAH DAN DAKWAH
Atribut yang diberikan Islam kepada Islam kepada kita, salah satunya adalah da’i ilallah. Allah telah berfirman,
‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutuskanmu untuk menjadi saksi dan pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi da’i (penyeru) kepada (agama) Allah dengan izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi’ (Al Ahzaab:45-46)
Kita dituntut untuk merealisasikan dakwah dalam seluruh waktu kehidupan kita. Setiap langkah kita sesungguhnya adalah dakwah kepada Allah, sebab dengan itulah Islam terkhabar kepada masyarakat. Bukankah dakwah bermakna mengajak manusia merealisasikan ajaran-ajaran Allah dalam kehidupan seharian? Sudah selayaknya kita sebagai pelaku yang pertama kali menunaikan, sebelum mengajak yang lainnya.
Pernikahan akan bernilai dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntutan Islam di satu sisi, dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain. Dalam memilih jodoh, difikirkan kriteria pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemaslahatan secara lebih luas. Selain kriteria umum sebagaimana tuntutan fikih Islam, pertimbangan lainnya adalah: apakah pemilihan jodoh ini memiliki implikasi kemaslahatan yang optimal bagi dakwah, ataukah sekadar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya?
Mari saya berikan beberapa contoh berikut.
CONTOH PERTAMA
Di antara sekian banyak wanita Muslimah yang telah memasuki usia siap menikah, mereka berbeza-beza jumlah bilangan usianya yang oleh kerana itu berbeza pula tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai 35 tahun, sebahagian yang lain antara 30 hingga 35 tahun, sebahagian berusia 25 hingga 30, dan yang lainnya di bawah 25 tahun. Mereka semua ini siap menikah, siap menjalankan fungsi dan peranan sebagai isteri dan ibu di rumah tangga.
Anda adalah laki-laki Muslim yang telah berniat melaksanakan pernikahan. Usia Anda 25 tahun. Anda dihadapkan pada realiti bahawa wanita Muslimah yang sesuai kriteria fikih Islam untuk Anda nikahi ada sekian banyak jumlahnya. Maka siapakah yang lebih Anda pilih, dan dengan pertimbangan apa Anda memilih dia sebagai calon isteri Anda?
Ternyata Anda memilih Ani, kerana ia memenuhi kriteria kebaikkan agama, cantik, menarik, pandai, dan usia masih muda, 20 tahun atau bahkan kurang dari itu. Apakah pilihan Anda ini salah? Demi Allah, pilihan Anda ini tidak salah! Anda telah memilih calon isteri dengan benar kerana berdasarkan kriteria kebaikkan agama; dan memenuhi sunnah kenabian. Bukankah Rasulullah Saw bertanya kepada Jabir r.a.,
‘Mengapa tidak (menikah) dengan seoang gadis yang bisa engkau cumbu dan bisa mencumbuimu?’ (Bukhari & Muslim)
Inilah jawapan dakwah dari seorang Jabir r.a., ‘Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. Janda ini saya harapkan mampu menyelesikan persoalan tersebut,” kata Jabir. “Benar katamu,” jawab Nabi Saw.
Jabir tidak hanya berfikir untuk kesenangan dirinya sendiri. Ia boleh saja memilih seorang gadis perawan yang cantik dan muda belia. Namun ia memiliki kepekaan dakwah yang amat tinggi. Kemaslahatan menikahi janda tersebut lebih tinggi dalam pandangan Jabir, dibandingkan dengan apabila menikahi gadis perawan.
Nah, apabila semua laki-laki Muslim berfikiran dan menentukan calon isterinya harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5 tahun lebih muda dari dirinya, maka siapakah yang akan datang melamar para wanita Muslimah yang usianya di atas 30 tahun, atau di atas 35 tahun, atau bahkan di atas 40 tahun?
Siapakah yang akan datang melamar para wanita Muslimah yang dari segi fisik tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai cantik menurut ukuran umum? Mereka, wanita tadi, adalah para Muslimah yang melaksanakan ketaatan, mereka adalah wanita salehah, menjaga kehormatan diri, bahkan merka aktif terlibat dalam berbagai kegaiatan dakwah dan sosial. Menurut Anda, siapakah yang harus menikahi mereka?
Ah, mengapa pertanyaannya ‘harus’? Dan mengapa pertanyaan ini dibebankan hanya kepada seseorang? Kita boleh saja mengabaikan dan melupakan realiti itu. Jodoh di tangan Allah, kita tidak memiliki hak menentukan segala sesuatu, Biarlah Allah memberikan keputusan agungNya. Bukan, bukan dalam konteks itu saya berbicara. Kita memang boleh melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah Islam tidak mengkehendaki kita berperilaku demikian?
Walaupun Nabi Saw menganjurkan Jabir agar menikah dengan gadis, kita juga mengetahui hampir seluruh isteri Rasulullah Saw adalah janda!
Walaupun Nabi Saw menyarankan agar Jabir beristeri gadis, pada kenyataannya, Jabir telah menikahi janda!
Demikian pula permintaan mahar Ummu Sulaim terhadap laki-laki yang datang melamarnya, Abu Thalhah. Mahar keislaman Abu Thalhah menyebabkan Ummu Sulaim menerima pinangannya. Inilah pilihan dakwah. Inilah pernikahan barakah, mambawa maslahat bagi dakwah.
Sebagaimana pula fikiran yang terbersit di benak Sa’ad bin Rabi’ Al Anshari, saat ia menerima saudara seimannya, Abdurrahman bin Auf, “Saya memiliki dua isteri sedangkan engkau tidak memiliki isteri. Pilihlah seorang di antara mereka yang engkau suka, sebutkan mana yang engkau pilih, akan saya ceraikan dia untuk engkau nikahi. Kalau iddahnya sudah selesai, maka nikahilah dia.” (Bukhari)
Ia tidak memiliki maksud apa pun kecuali memikirkan kondisi saudaranya seiman yang belum memiliki isteri. Keinginan berbuat baiknya itulah yang sampai memunculkan idea aneh tersebut. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran itu, dan ia sebagai orang baru di Madinah hanya ingin ditunjukkan jalan ke pasar.
Ini hanya satu contoh saja, bahawa dalam konteks pernikahan, hendaklah dikaitkan dengan projek besar dakwah Islam. Jika kecantikan gadis harapan Anda bernilai 100 point, tidakkah Anda bersedia menurunkan 20 atau 30 point untuk mendapatkan kebaikan dari segi yang lain? Ketika pilihan itu membawa maslahat bagi dakwah, mengapa tidak ditempuh?
Jika gadis harapan Anda berusia 20 tahun, tidakkah Anda bersedia sedikit memberikan toleransi dengan melihat kepada wanita yang lebih mendesak untuk segera menikah kerana desakan usia? Jika Anda adalah seorang wanita muda usia, dan ditanyakan – dalam konteks pernikahan – oleh seorang laki-laki yang sesuai kriteria harapan Anda, mampukah Anda mengatakan kepada dia, “Saya memang telah siap menikah, akan tetapi Nurul, sahabat saya, lebih mendesak untuk segera menikah.”
Atau kita telah bersepakat untuk tidak mahu melihat realiti itu, kerana bukan tanggungjwab kita? Ini urusan masing-masing. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah soal takdir yang tak berada di tangan kita. Masyaallah, seribu dalil boleh kita gunakan untuk mengabsahkan fikiran individualistik kita, akan tetapi hendaklah kita ingat pesan kenabian berikut:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut di seluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas” (Bukhari dan Muslim)
Boleh jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitkan dan mengiris-iris hati beberapa orang lain. Setiap saat mereka mendapatkan undangan pernikahan, harus membaca dan menghadiri dengan perasaan sedih, kerana jodoh tak kunjung datang, sementara usia terus bertambah, dan kepercayaan diri semakin berkurangan.
Di sinilah perlunya kita berfikir tentang kemaslahatan dakwah dalam proses pernikahan Muslim. Memang tidak ada rumus baku , bahawa pernikahan harus terjadi ‘urut kacang’, dimulai dari yang usianya paling tua terlebih dahulu. Sebab, menikah tidak saja mengandalkan kepada bilangan usia, akan tetapi lebih mengedepankan sisi kesiapan. Kalaupun telah jadi kesiapan, pernikahan juga tidak boleh dipaksakan antara seorang lelaki dengan seorang wanita, hanya alasan kemendesakan usia.
Yang sangat diperlukan adalah proses mendialogkan satu harapan dengan harapan yang lainnya. Ada harapan lelaki muda untuk mendapatkan gadis cantik usia muda. Namun di sisi lain ada harapan dari para wanita salehah yang usia mereka telah beranjak semakin tua. Kedua belah pihak memiliki idealiti, memiliki semangat melakukan kebaikan, hanya saja perlu dipertemukan dan difasilitasi agar terjadi dialog yang sangat mendekatkan harapan yang tak sama. Masih ditambah lagi dengan harapan dakwah untuk mengusahakan tegaknya sebuah peradaban Islam, yang dimulai dari rumah.
Inilah bahagian yang sangat urgen dari sebuah pernikahan. Ia bukan saja jalan untuk mendapatkan ketenangan jiwa, menyalurkan potensi fitrah kemanusiaan, mendapatkan keturunan, akan tetapi juga bahagian dari penyelesaian permasalahan dakwah, dan yang lebih dari itu semua adalah permulaan pembangunan sebuah peradaban.
CONTOH KEDUA
Menikah juga memiliki nilai dakwah yang amat tinggi, jika dengannya Anda bisa melakukan kemasukan dakwah kepada pasangan Anda dan keluarganya. Misalnya Anda seorang wanita, menikah dengan seorang lelaki mu’allaf, yang dengan pernikahan tersebut Anda bisa memberikan penguatan bagi keislaman suami Anda. Maka, izinkan saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap dua orang akhwat Muslimah yang menikah dengan dua kepala suku di Wamena, Papua.
Saya juga memberikan apresiasi yang amat tinggi kepada seorang kader dakwah yang saya jumpa di Wamena, di mana ia menikahi perempuan mu’allaf anak kepala suku, yang dengan pernikahan itu memberikan dampak tersebarnya dakwah Islam di kalangan masyarakat pedalaman. Dia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri dengan pernikahan itu, tetapi ia tengah memberikan kontribulasi yang amat besar dan nyata bagi dakwah Islam.
CONTOH KETIGA
Proses pernikahan Anda bernilai dakwah jika dengannya Anda memberikan keteladanan dalam kebaikan dan kebersihan diri. Betapa banyak masyarakat yang terjerumus ke dalam kemaksiatan, berkubang dalam lumpur kekotoran dan dosa, sehingga proses pernikahan mereka tidak ubahnya hanyalah sebatas acara ceremony untuk ‘ada’ dan gengsi semata. Dengan harta yang melimpah, banyak masyarakat menjadikan pesta pernikahan sebagai sarana menghamburkan harta, padahal banyak kejadian pernikahan tersebut hanya seumur jagung.
Jika Anda melakukan proses pernikahan sesuai tuntutan syariat, maka Anda telah mengkhabarkan jati diri ajaran Islam yang menghendaki kebaikan, kebersihan, kesucian dalam pernikahan. Bukan huru-hara untuk membungkus kekotoran hubungan yang telah terjadi antara kedua mempelai sebelum terjadinya pernikahan. Atau bukan pesta ceremony untuk menutup aib pasangan yang telah hamil sebelum rasmi dilaksanakan pernikahan.
Anda telah memberikan kontribusi terhadap tata nilai diajarkan Islam, dengan jalan mengaplikasikan dan disaksikan oleh masyarakat sekitar Anda. Mereka melihat betapa pernikahan yang Anda lakukan membawa nilai keagamaan yang tinggi, memberikan sentuhan spiritual dalam perlaksanaan. Boleh jadi Anda melaksanakan akad nikah dan walimah dengan sederhana, akan tetapi telah menyampaikan pesan dengan sangat kuat mengenai orientasi pernikahan islami.
Teramat banyak muatan dakwah dalam setiap proses pernikahan Anda, akan tetapi tetap harus berangkat dari niat awal. Ertinya, sejak awal Anda memulai langkah menuju gerbang pernikahan telah tertanam motivasi yang kuat untuk melaksanakan pernikahan di jalan dakwah, bukan jalan-jalan lainnya. Insya Allah, pernikahan Anda akan penuh barakah.
Masih banyak sekali contoh dalam kehidupan seharian, bahawa pernikahan di jalan dakwah tidak hanya disebabkan oleh kerana bertemunya dua aktivist dakwah, lelaki dan perempuan, dalam mahliagai pernikahan, akan tetapi bahawa Anda memiliki orientasi yang kuat dan benar sejak dari awalnya yang akan menuntun Anda melaksanakan pernikahan di jalan yang benar tersebut.
Bagaimanakah dengan pernikahan Anda?
Atribut yang diberikan Islam kepada Islam kepada kita, salah satunya adalah da’i ilallah. Allah telah berfirman,
‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutuskanmu untuk menjadi saksi dan pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi da’i (penyeru) kepada (agama) Allah dengan izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi’ (Al Ahzaab:45-46)
Kita dituntut untuk merealisasikan dakwah dalam seluruh waktu kehidupan kita. Setiap langkah kita sesungguhnya adalah dakwah kepada Allah, sebab dengan itulah Islam terkhabar kepada masyarakat. Bukankah dakwah bermakna mengajak manusia merealisasikan ajaran-ajaran Allah dalam kehidupan seharian? Sudah selayaknya kita sebagai pelaku yang pertama kali menunaikan, sebelum mengajak yang lainnya.
Pernikahan akan bernilai dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntutan Islam di satu sisi, dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain. Dalam memilih jodoh, difikirkan kriteria pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemaslahatan secara lebih luas. Selain kriteria umum sebagaimana tuntutan fikih Islam, pertimbangan lainnya adalah: apakah pemilihan jodoh ini memiliki implikasi kemaslahatan yang optimal bagi dakwah, ataukah sekadar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya?
Mari saya berikan beberapa contoh berikut.
CONTOH PERTAMA
Di antara sekian banyak wanita Muslimah yang telah memasuki usia siap menikah, mereka berbeza-beza jumlah bilangan usianya yang oleh kerana itu berbeza pula tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai 35 tahun, sebahagian yang lain antara 30 hingga 35 tahun, sebahagian berusia 25 hingga 30, dan yang lainnya di bawah 25 tahun. Mereka semua ini siap menikah, siap menjalankan fungsi dan peranan sebagai isteri dan ibu di rumah tangga.
Anda adalah laki-laki Muslim yang telah berniat melaksanakan pernikahan. Usia Anda 25 tahun. Anda dihadapkan pada realiti bahawa wanita Muslimah yang sesuai kriteria fikih Islam untuk Anda nikahi ada sekian banyak jumlahnya. Maka siapakah yang lebih Anda pilih, dan dengan pertimbangan apa Anda memilih dia sebagai calon isteri Anda?
Ternyata Anda memilih Ani, kerana ia memenuhi kriteria kebaikkan agama, cantik, menarik, pandai, dan usia masih muda, 20 tahun atau bahkan kurang dari itu. Apakah pilihan Anda ini salah? Demi Allah, pilihan Anda ini tidak salah! Anda telah memilih calon isteri dengan benar kerana berdasarkan kriteria kebaikkan agama; dan memenuhi sunnah kenabian. Bukankah Rasulullah Saw bertanya kepada Jabir r.a.,
‘Mengapa tidak (menikah) dengan seoang gadis yang bisa engkau cumbu dan bisa mencumbuimu?’ (Bukhari & Muslim)
Inilah jawapan dakwah dari seorang Jabir r.a., ‘Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. Janda ini saya harapkan mampu menyelesikan persoalan tersebut,” kata Jabir. “Benar katamu,” jawab Nabi Saw.
Jabir tidak hanya berfikir untuk kesenangan dirinya sendiri. Ia boleh saja memilih seorang gadis perawan yang cantik dan muda belia. Namun ia memiliki kepekaan dakwah yang amat tinggi. Kemaslahatan menikahi janda tersebut lebih tinggi dalam pandangan Jabir, dibandingkan dengan apabila menikahi gadis perawan.
Nah, apabila semua laki-laki Muslim berfikiran dan menentukan calon isterinya harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5 tahun lebih muda dari dirinya, maka siapakah yang akan datang melamar para wanita Muslimah yang usianya di atas 30 tahun, atau di atas 35 tahun, atau bahkan di atas 40 tahun?
Siapakah yang akan datang melamar para wanita Muslimah yang dari segi fisik tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai cantik menurut ukuran umum? Mereka, wanita tadi, adalah para Muslimah yang melaksanakan ketaatan, mereka adalah wanita salehah, menjaga kehormatan diri, bahkan merka aktif terlibat dalam berbagai kegaiatan dakwah dan sosial. Menurut Anda, siapakah yang harus menikahi mereka?
Ah, mengapa pertanyaannya ‘harus’? Dan mengapa pertanyaan ini dibebankan hanya kepada seseorang? Kita boleh saja mengabaikan dan melupakan realiti itu. Jodoh di tangan Allah, kita tidak memiliki hak menentukan segala sesuatu, Biarlah Allah memberikan keputusan agungNya. Bukan, bukan dalam konteks itu saya berbicara. Kita memang boleh melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah Islam tidak mengkehendaki kita berperilaku demikian?
Walaupun Nabi Saw menganjurkan Jabir agar menikah dengan gadis, kita juga mengetahui hampir seluruh isteri Rasulullah Saw adalah janda!
Walaupun Nabi Saw menyarankan agar Jabir beristeri gadis, pada kenyataannya, Jabir telah menikahi janda!
Demikian pula permintaan mahar Ummu Sulaim terhadap laki-laki yang datang melamarnya, Abu Thalhah. Mahar keislaman Abu Thalhah menyebabkan Ummu Sulaim menerima pinangannya. Inilah pilihan dakwah. Inilah pernikahan barakah, mambawa maslahat bagi dakwah.
Sebagaimana pula fikiran yang terbersit di benak Sa’ad bin Rabi’ Al Anshari, saat ia menerima saudara seimannya, Abdurrahman bin Auf, “Saya memiliki dua isteri sedangkan engkau tidak memiliki isteri. Pilihlah seorang di antara mereka yang engkau suka, sebutkan mana yang engkau pilih, akan saya ceraikan dia untuk engkau nikahi. Kalau iddahnya sudah selesai, maka nikahilah dia.” (Bukhari)
Ia tidak memiliki maksud apa pun kecuali memikirkan kondisi saudaranya seiman yang belum memiliki isteri. Keinginan berbuat baiknya itulah yang sampai memunculkan idea aneh tersebut. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran itu, dan ia sebagai orang baru di Madinah hanya ingin ditunjukkan jalan ke pasar.
Ini hanya satu contoh saja, bahawa dalam konteks pernikahan, hendaklah dikaitkan dengan projek besar dakwah Islam. Jika kecantikan gadis harapan Anda bernilai 100 point, tidakkah Anda bersedia menurunkan 20 atau 30 point untuk mendapatkan kebaikan dari segi yang lain? Ketika pilihan itu membawa maslahat bagi dakwah, mengapa tidak ditempuh?
Jika gadis harapan Anda berusia 20 tahun, tidakkah Anda bersedia sedikit memberikan toleransi dengan melihat kepada wanita yang lebih mendesak untuk segera menikah kerana desakan usia? Jika Anda adalah seorang wanita muda usia, dan ditanyakan – dalam konteks pernikahan – oleh seorang laki-laki yang sesuai kriteria harapan Anda, mampukah Anda mengatakan kepada dia, “Saya memang telah siap menikah, akan tetapi Nurul, sahabat saya, lebih mendesak untuk segera menikah.”
Atau kita telah bersepakat untuk tidak mahu melihat realiti itu, kerana bukan tanggungjwab kita? Ini urusan masing-masing. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah soal takdir yang tak berada di tangan kita. Masyaallah, seribu dalil boleh kita gunakan untuk mengabsahkan fikiran individualistik kita, akan tetapi hendaklah kita ingat pesan kenabian berikut:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut di seluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas” (Bukhari dan Muslim)
Boleh jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitkan dan mengiris-iris hati beberapa orang lain. Setiap saat mereka mendapatkan undangan pernikahan, harus membaca dan menghadiri dengan perasaan sedih, kerana jodoh tak kunjung datang, sementara usia terus bertambah, dan kepercayaan diri semakin berkurangan.
Di sinilah perlunya kita berfikir tentang kemaslahatan dakwah dalam proses pernikahan Muslim. Memang tidak ada rumus baku , bahawa pernikahan harus terjadi ‘urut kacang’, dimulai dari yang usianya paling tua terlebih dahulu. Sebab, menikah tidak saja mengandalkan kepada bilangan usia, akan tetapi lebih mengedepankan sisi kesiapan. Kalaupun telah jadi kesiapan, pernikahan juga tidak boleh dipaksakan antara seorang lelaki dengan seorang wanita, hanya alasan kemendesakan usia.
Yang sangat diperlukan adalah proses mendialogkan satu harapan dengan harapan yang lainnya. Ada harapan lelaki muda untuk mendapatkan gadis cantik usia muda. Namun di sisi lain ada harapan dari para wanita salehah yang usia mereka telah beranjak semakin tua. Kedua belah pihak memiliki idealiti, memiliki semangat melakukan kebaikan, hanya saja perlu dipertemukan dan difasilitasi agar terjadi dialog yang sangat mendekatkan harapan yang tak sama. Masih ditambah lagi dengan harapan dakwah untuk mengusahakan tegaknya sebuah peradaban Islam, yang dimulai dari rumah.
Inilah bahagian yang sangat urgen dari sebuah pernikahan. Ia bukan saja jalan untuk mendapatkan ketenangan jiwa, menyalurkan potensi fitrah kemanusiaan, mendapatkan keturunan, akan tetapi juga bahagian dari penyelesaian permasalahan dakwah, dan yang lebih dari itu semua adalah permulaan pembangunan sebuah peradaban.
CONTOH KEDUA
Menikah juga memiliki nilai dakwah yang amat tinggi, jika dengannya Anda bisa melakukan kemasukan dakwah kepada pasangan Anda dan keluarganya. Misalnya Anda seorang wanita, menikah dengan seorang lelaki mu’allaf, yang dengan pernikahan tersebut Anda bisa memberikan penguatan bagi keislaman suami Anda. Maka, izinkan saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap dua orang akhwat Muslimah yang menikah dengan dua kepala suku di Wamena, Papua.
Saya juga memberikan apresiasi yang amat tinggi kepada seorang kader dakwah yang saya jumpa di Wamena, di mana ia menikahi perempuan mu’allaf anak kepala suku, yang dengan pernikahan itu memberikan dampak tersebarnya dakwah Islam di kalangan masyarakat pedalaman. Dia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri dengan pernikahan itu, tetapi ia tengah memberikan kontribulasi yang amat besar dan nyata bagi dakwah Islam.
CONTOH KETIGA
Proses pernikahan Anda bernilai dakwah jika dengannya Anda memberikan keteladanan dalam kebaikan dan kebersihan diri. Betapa banyak masyarakat yang terjerumus ke dalam kemaksiatan, berkubang dalam lumpur kekotoran dan dosa, sehingga proses pernikahan mereka tidak ubahnya hanyalah sebatas acara ceremony untuk ‘ada’ dan gengsi semata. Dengan harta yang melimpah, banyak masyarakat menjadikan pesta pernikahan sebagai sarana menghamburkan harta, padahal banyak kejadian pernikahan tersebut hanya seumur jagung.
Jika Anda melakukan proses pernikahan sesuai tuntutan syariat, maka Anda telah mengkhabarkan jati diri ajaran Islam yang menghendaki kebaikan, kebersihan, kesucian dalam pernikahan. Bukan huru-hara untuk membungkus kekotoran hubungan yang telah terjadi antara kedua mempelai sebelum terjadinya pernikahan. Atau bukan pesta ceremony untuk menutup aib pasangan yang telah hamil sebelum rasmi dilaksanakan pernikahan.
Anda telah memberikan kontribusi terhadap tata nilai diajarkan Islam, dengan jalan mengaplikasikan dan disaksikan oleh masyarakat sekitar Anda. Mereka melihat betapa pernikahan yang Anda lakukan membawa nilai keagamaan yang tinggi, memberikan sentuhan spiritual dalam perlaksanaan. Boleh jadi Anda melaksanakan akad nikah dan walimah dengan sederhana, akan tetapi telah menyampaikan pesan dengan sangat kuat mengenai orientasi pernikahan islami.
Teramat banyak muatan dakwah dalam setiap proses pernikahan Anda, akan tetapi tetap harus berangkat dari niat awal. Ertinya, sejak awal Anda memulai langkah menuju gerbang pernikahan telah tertanam motivasi yang kuat untuk melaksanakan pernikahan di jalan dakwah, bukan jalan-jalan lainnya. Insya Allah, pernikahan Anda akan penuh barakah.
Masih banyak sekali contoh dalam kehidupan seharian, bahawa pernikahan di jalan dakwah tidak hanya disebabkan oleh kerana bertemunya dua aktivist dakwah, lelaki dan perempuan, dalam mahliagai pernikahan, akan tetapi bahawa Anda memiliki orientasi yang kuat dan benar sejak dari awalnya yang akan menuntun Anda melaksanakan pernikahan di jalan yang benar tersebut.
Bagaimanakah dengan pernikahan Anda?
2 comments:
Ehem.. Macam dah tak lama je bunyinya.. Anyway.. Semoga dipermudahkan segala urusan
amiin
Post a Comment